Ada temuan
mengejutkan dari hasil studi yang dilakukan Business Software Alliance
(BSA) di Indonesia. Dalam laporan bertajuk Studi Pembajakan Software
Global 2011, BSA menyatakan, sekitar 59 persen pengguna komputer di
Indonesia mengaku memperoleh software (piranti lunak) bajakan.
Sebagian di antara pengguna mengaku selalu atau sering menggunakan
software bajakan. Sebagian lainnya mengatakan hanya pada saat tertentu
atau sesekali saja menggunakan software bajakan. Hal inilah yang membuat
tingkat pembajakan software di Indonesia pada tahun lalu mencapai 86
persen, artinya lebih dari 8 dari 10 program yang di-install oleh
pengguna komputer adalah software tanpa lisensi dengan nilai komersial
US$ 1,467 miliar (sekitar Rp12,8 triliun).
Dari 59 persen responden di Indonesia yang mengaku memperoleh
software secara ilegal tersebut, 5 persen mengatakan mereka "selalu"
memperolehnya secara ilegal, 14 persen mengatakan "sering", 23 persen
mengatakan hanya "pada saat tertentu", sedangkan 17 persen lainnya
mengatakan hanya "sesekali" memperoleh software secara ilegal. Studi ini
juga menemukan bahwa pengguna yang mengaku menggunakan software bajakan
di Indonesia didominasi perempuan dengan rentang usia 25 hingga 34
tahun.
"Jika 59 persen konsumen mengaku mereka mencuri dari toko, para
aparat penegak hukum seyogyanya bereaksi dengan meningkatkan jumlah
pengamanan dan denda. Pembajakan software juga seharusnya mendapat
reaksi yang sama untuk mendidik masyarakat dan menegaskan penegakan
hukum yang ketat," kata Tarun Sawney, Direktur Senior Anti Pembajakan,
Asia Pasifik, Business Software Alliance di Jakarta belum lama ini.
Presiden dan CEO BSA, Robert Holleyman menyatakan pemerintah
Indonesia harus mengambil langkah untuk memperbarui undang-undang
kekayaan intelektual mereka dan memperluas upaya penegakan hukum untuk
memastikan mereka yang membajak software menghadapi konsekuensi nyata."
Secara global, studi ini menemukan bahwa tingkat pembajakan di negara
berkembang melebihi negara maju, dengan rata-rata 68 hingga 24 persen.
Negara berkembang merupakan penyebab mayoritas peningkatan nilai
komersial pencurian software. Hal ini membantu menjelaskan dinamika
pasar di balik tingkat pembajakan software global, yang pada 2011 tetap
berada di 42 persen, sementara pasar di dunia berkembang secara bertahap
terus meningkat dan mendorong nilai komersial pencurian software hingga
63,4 miliar dolar AS.
Temuan lainnya dari Studi Pembajakan Software Global BSA tahun ini juga menunjukkan,
secara global, pengguna yang paling sering melakukan pembajakan software adalah kaum muda dan berjenis kelamin laki-laki - dua kali lebih banyak dan tinggal di negara berkembang dibandingkan mereka yang tinggal di negara maju (38 hingga 15 persen).
secara global, pengguna yang paling sering melakukan pembajakan software adalah kaum muda dan berjenis kelamin laki-laki - dua kali lebih banyak dan tinggal di negara berkembang dibandingkan mereka yang tinggal di negara maju (38 hingga 15 persen).
Studi BSA juga menemukan, para pembuat keputusan bisnis mengaku bahwa mereka membajak software lebih sering dari pengguna lain - dua kali lebih banyak dari pengguna yang mengatakan membeli software untuk satu komputer namun meng-install-nya untuk beberapa komputer lain di kantor.
Secara global, terdapat dukungan yang kuat pada Hak Kekayaan
Intelektual dan perlindungannya. Namun kurangnya insentif untuk mengubah
perilaku para pembajak. Hanya 20 persen pengguna yang sering membajak
di negara maju dan 15 persen di negara berkembang, mengatakan risiko
tertangkap merupakan alasan mereka untuk tidak membajak software. (esy)
(sumber: http://id.berita.yahoo.com/pembajakan-software-capai-rp-12-8-triliun-152608850.html)
No comments:
Post a Comment