Sunday, May 27, 2012

Pembajakan Software Capai Rp 12,8 triliun

Ada temuan mengejutkan dari hasil studi yang dilakukan Business Software Alliance (BSA) di Indonesia. Dalam laporan bertajuk Studi Pembajakan Software Global 2011, BSA menyatakan, sekitar 59 persen pengguna komputer di Indonesia mengaku memperoleh software (piranti lunak) bajakan.

Sebagian di antara pengguna mengaku selalu atau sering menggunakan software bajakan. Sebagian lainnya mengatakan hanya pada saat tertentu atau sesekali saja menggunakan software bajakan. Hal inilah yang membuat tingkat pembajakan software di Indonesia pada tahun lalu mencapai 86 persen, artinya lebih dari 8 dari 10 program yang di-install oleh pengguna komputer adalah software tanpa lisensi dengan nilai komersial US$ 1,467 miliar (sekitar Rp12,8 triliun).

Dari 59 persen responden di Indonesia yang mengaku memperoleh software secara ilegal tersebut, 5 persen mengatakan mereka "selalu" memperolehnya secara ilegal, 14 persen mengatakan "sering", 23 persen mengatakan hanya "pada saat tertentu", sedangkan 17 persen lainnya mengatakan hanya "sesekali" memperoleh software secara ilegal. Studi ini juga menemukan bahwa pengguna yang mengaku menggunakan software bajakan di Indonesia didominasi perempuan dengan rentang usia 25 hingga 34 tahun.

"Jika 59 persen konsumen mengaku mereka mencuri dari toko, para aparat penegak hukum seyogyanya bereaksi dengan meningkatkan jumlah pengamanan dan denda. Pembajakan software juga seharusnya mendapat reaksi yang sama untuk mendidik masyarakat dan menegaskan penegakan hukum yang ketat," kata Tarun Sawney, Direktur Senior Anti Pembajakan, Asia Pasifik, Business Software Alliance di Jakarta belum lama ini.

Presiden dan CEO BSA, Robert Holleyman menyatakan pemerintah Indonesia harus mengambil langkah untuk memperbarui undang-undang kekayaan intelektual mereka dan memperluas upaya penegakan hukum untuk memastikan mereka yang membajak software menghadapi konsekuensi nyata."

Secara global, studi ini menemukan bahwa tingkat pembajakan di negara berkembang melebihi negara maju, dengan rata-rata 68 hingga 24 persen. Negara berkembang merupakan penyebab mayoritas peningkatan nilai komersial pencurian software. Hal ini membantu menjelaskan dinamika pasar di balik tingkat pembajakan software global, yang pada 2011 tetap berada di 42 persen, sementara pasar di dunia berkembang secara bertahap terus meningkat dan mendorong nilai komersial pencurian software hingga 63,4 miliar dolar AS.

Temuan lainnya dari Studi Pembajakan Software Global BSA tahun ini juga menunjukkan,
secara global, pengguna yang paling sering melakukan pembajakan software adalah kaum muda dan berjenis kelamin laki-laki - dua kali lebih banyak dan tinggal di negara berkembang dibandingkan mereka yang tinggal di negara maju (38 hingga 15 persen).

Studi BSA juga menemukan, para pembuat keputusan bisnis mengaku bahwa mereka membajak software lebih sering dari pengguna lain - dua kali lebih banyak dari pengguna yang mengatakan membeli software untuk satu komputer namun meng-install-nya untuk beberapa komputer lain di kantor.

Secara global, terdapat dukungan yang kuat pada Hak Kekayaan Intelektual dan perlindungannya. Namun kurangnya insentif untuk mengubah perilaku para pembajak. Hanya 20 persen pengguna yang sering membajak di negara maju dan 15 persen di negara berkembang, mengatakan risiko tertangkap merupakan alasan mereka untuk tidak membajak software. (esy)

(sumber: http://id.berita.yahoo.com/pembajakan-software-capai-rp-12-8-triliun-152608850.html)